perangkatdaerah yang membidangi hukum provinsi atau bagian hukum kabupaten/kota berupa minute; dan perangkat daerah pemrakarsa. Penomoran produk hukum daerah terhadap perkada kota/kabupaten dilakukan oleh kepala bagian hukum kabupaten/kota atau nama lainnya. [4]
7 Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Dijelaskan juga dalam Pasal 1 angka (8) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa : "Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan PerundangUndangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dengan
Risikososial menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (selanjutnya disebut Permendagri 32/2011) adalah kejadian atau peristiwa yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung oleh individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat sebagai
Apabilaada peraturan daerah yang dibuat bukan oleh kepala daerah dan DPRD maka from SAINTEK 1645400108 at UIN Raden Fatah. Study Resources. Main Menu; by School; by Literature Title; Apabila ada peraturan daerah yang dibuat bukan oleh. School UIN Raden Fatah; Course Title SAINTEK 1645400108;
Halini disebabkan oleh: (1) konfigurasi politik Pemerintahan Daerah Kalimantan Barat yang demokratis tidak serta merta melahirkan peraturan daerah yang responsif bagi pemenuhan hak-hak ekosob; (2) tidak adanya kemauan politik—kalau tidak hendak dikatakan—telah melakukan pembiaran, karena pertama, penyerapan aspirasi lebih banyak dilakukan
Namundemikian, implementasi penganggaran berbasis kinerja yang dibuat oleh Orga- nisasi Pemerintah Daerah (OPD) di Indonesia belum secara efektif diterapkan. Tekanan eksternal berupa tuntutan dan peraturan yang dibuat dengan tujuan mengatur kebijakan dan pelaksanaan secara jelas ternyata susah untuk diimplementasikan karena syarat-syarat
PergubDKI Jakarta 53/2006 dan Pergub DKI Jakarta 11/2009 merupakan contoh bahwa Pergub dapat diterbitkan bukan berdasarkan amanat Perda Provinsi, tetapi berdasarkan kewenangan yang dimiliki Gubernur. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum: 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.
Pengawasanyang ada hanya pengawasan represif yaitu bahwa Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan (regeling) yang sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah, selambat-lambatnya 15 hari harus disampaikan kepada Pusat untuk dinilai apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
b Data Sekunder Data skunder yang didapat dengan cara membaca literatur, peraturan perundangundangan, artikel, makalah ilmiah serta sumber tertulis mengenai bahan hukum primer ,8 di dalam hal ini Undang-undang utama yang digunakan adalah Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 28 Tahun 2001 Tentang Perizinan Penggunaan Air bawah Tanah dan
Jawaban B. Peraturan Daerah. Dilansir dari Ensiklopedia, peraturan yang dibuat oleh daerah dengan melibatkan dprd dan kepala daerah disebut peraturan daerah. Baca Juga Potensi yang dapat dikembangkan dari wilayah perairan Indonesia sangat banyak.
pwP7m. Pemahaman terhadap konsepsi otonomi daerah masih memprihatinkan. Kepala daerah sering salah menafsirkan otonomi Dalam praktik, seperti dijelaskan Prof. Bhen, dalam bukunya, telah terjadi pelanggaran hukum dalam mekanisme pembatalan Perda. Sebab, pembatalannya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dengan Keputusan Menteri. Padahal UU Pemda 2004 mengisyaratkan pengawasan Perda dilakukan Presiden. Bisa jadi, penyimpangan itu terkait rumusan Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Di sini, pengawasan terhadap Perda dan Peraturan kepala Daerah dilakukan Mendagri. Anehnya lagi, pasal 37 ayat 1 PP ini menyebutkan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dibatalkan oleh Presiden atas usul Menteri Dalam Negeri. Sementara pembatalan Peraturan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan lebih tinggi dilakukan Menteri Dalam Negeri dengan Permendagri. Ă‚ Kekosongan dan kelemahan pengaturan ketiga produk hukum daerah tersebut diperumit lagi dengan lahirnya Permendagri No. 15 Tahun 2006 tentang Jenis dan Bentuk Produk Hukum Daerah. Permendagri ini mengenai Peraturan Bersama Kepala Daerah dan Instruksi Kepala Daerah. Ă‚ PP No. 79 Tahun 2005 juga membuat rancu tentang siapa yang membatalkan Perda. Di satu sisi disebut dibatalkan oleh Presiden dengan Perpres, tetapi di sisi lain dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui SK Menteri. Bentuk produk hukum yang membatalkan Peraturan Presiden dan Surat Keputusan Menteri akan membawa implikasi. Peraturan Presiden mengenal mekanisme judicial review ke Mahkamah Agung, sedangkan SK tidak mengenalnya. Suatu SK digugat ke PTUN. Ă‚ Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan itu turut memperkeruh praktik otonomi daerah di Indonesia. I Made Suwandi, Direktur Fasilitasi Kebijakan dan Pelaporan Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri, membenarkan sinyalemen itu. Kondisi ini, kata Made, diperparah kurangnya pemahaman terhadap hakekat otonomi daerah, disamping praktik otonomi daerah di Indonesia yang berbeda dengan di negara lain. Ă‚ Kondisi demikian akan berimbas lebih jauh. Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Safri Nugraha, menyatakan kesalahan pemahaman terhadap otonomi daerah itulah yang melahirkan tumpang tindih perizinan di banyak daerah. Masa ada puluhan izin dikeluarkan untuk lokasi yang sama, ujarnya. Ă‚ Pengaturan mengenai pembentukan Peraturan Daerah Perda di Indonesia memperlihatkan ketidaktaatan asas. Menurut pasal 18 ayat 6 UUD 1945, Perda dan peraturan-peraturan lain ditetapkan oleh pemerintahan daerah. Sementara, berdasarkan pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Perda dibuat oleh DPRD bersama kepada daerah. Sebaliknya, bagian Penjelasan Umum butir 7 UU Pemda tersebut, Perda dibuat oleh DPRD bersama dengan pemerintah daerah. Pada Undang-Undang yang sama, pasal 136, disebutkan bahwa Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Ă‚ Ketidaktaatan asas ini merupakan salah satu kritik yang disampaikan Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Prof. Bhenyamin Hoessein dalam diskusi mengiringi peluncuran bukunya Perubahan Model, Pola, dan Bentuk Pemerintahan Daerah Dari Era Orde Baru ke Era Reformasi di Depok, Rabu 19/8.Ă‚ Selain itu, Prof. Bhen mengingatkan bahwa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemda tidak mengatur hubungan antara Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota. Sehingga tidak jelas apakah hubungannya hierarkis atau setara. Pasal 18 ayat 1 UUD 1945 menghendaki hubungan provinsi dan kabupaten/kota bersifat hierarkis. Hal ini juga dapat dirujuk ke TAP No. IV/MPR/2000 yang menghendaki otonomi daerah yang bertingkat dari provinsi sampai ke desa. Tetapi kalau merujuk pada UU No. 10 Tahun 2004, Perda Provinsi berkedudukan lebih tinggi dibanding Perda Kabupaten/Kota. Ă‚ Undang-Undang Pemda membedakan tiga jenis produk hukum daerah otonom dua produk hukum berupa pengaturan yaitu Perda dan Peraturan Kepala Daerah, dan satu berupa pengurusan SK Kepala Daerah. Dua yang pertama memiliki norma yang umum dan abstrak, sedangkan yang terakhir bersifat penetapan yang bisa digugat ke Pengadilan Tata Usaha Pelanggaran hukumSetiap Perda wajib disampaikan kepada Pemerintah. Merujuk pada pasal 1 butir 1 UU Pemda, Pemerintah di sini adalah Presiden. Menurut Prof. Bhen, penyampaian Perda kepada Pemerintah adalah dalam rangka pengawasan refresif. Cuma, dari berbagai jenis produk hukum daerah otonom, termasuk Peraturan Desa, hanya Perda yang tunduk pada pengawasan refresif. Pasal 145 ayat 2 UU Pemda menentukan bahwa Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan Perda, Provinsi atau Kabupaten/Kota, mestinya dilakukan oleh Presiden.
BerandaKlinikKenegaraanKewenangan Atribusi ...KenegaraanKewenangan Atribusi ...KenegaraanJumat, 11 Februari 2022Jumat, 11 Februari 2022Bacaan 5 MenitApakah setiap Raperda harus didasarkan pada adanya UU yang menjadi payung hukumnya atau bisa diatur sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing?Peraturan daerah adalah peraturan yang dibuat atas dasar kewenangan atribusi dan delegasi, artinya perda dapat dibentuk sewaktu-waktu, tanpa adanya perintah dari peraturan perundang-undangan di atasnya, untuk memenuhi kebutuhan daerah masing-masing, atas dasar kewenangan yang telah diberikan UU 23/2014. Selain itu, peraturan daerah juga dapat dibentuk untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini. Sebelumnya perlu Anda pahami, peraturan daerah adalah yang selanjutnya disebut perda atau yang disebut dengan nama lain adalah perda provinsi dan perda kabupaten/kota.[1]Pembentukan peraturan perundang-undangan lahir dari kewenangan atribusi dan delegasi, termasuk kewenangan pembentukan perda. Atribusi kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pemberian kewenangan oleh Undang-Undang Dasar grondwet atau Undang-Undang wet kepada lembaga negara/pemerintahan untuk membentuk peraturan perundang-undangan.[2]Atribusi tersebut bersifat terus-menerus dan dapat dilaksanakan kapan saja atas prakarsa sendiri saat diperlukan. Atribusi kewenangan pembentukan perda dapat dilihat dari rumusan Pasal 236 UU 23/2014 sebagai berikutUntuk menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Perda sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memuat materi muatanpenyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain materi muatan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 Perda dapat memuat materi muatan lokal sesuai dengan ketentuan peraturan yang dimaksud otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat atau dari pemerintah daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.[4]Selain itu, kami mengutip juga bunyi Pasal 14 UU 12/2011 sebagai berikutMateri muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Dari rumusan kedua pasal di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut terkait pembentukan peraturan daerah adalahterdapat atribusi kewenangan pembentukan perda;atribusinya berasal dari UU;kewenangan tersebut bersifat terus-menerus atau tidak dibatasi waktu;perda dapat dibentuk kapan saja sesuai kebutuhan; danbatas materi muatan demikian, peraturan daerah dibuat oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah, dapat dibentuk dengan cukup mendasarkan pada UU 23/2014 sebagai UU yang memberikan atribusi kewenangan pembentukan peraturan daerah. Selain itu, perda juga dapat mengatur materi-materi yang menampung kondisi khusus provinsi dan kabupaten/kota juga dibentuk atas dasar delegasi kewenangan pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut sesuai dengan cakupan materi muatan perda pada Pasal 236 ayat 3 huruf b UU 23/2014 sebagaimana disebutkan sebelumnya, yang dapat mengatur ketentuan lebih lanjut dari peraturan perundang-undang yang lebih tinggi, termasuk UU, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan juga Hierarki Peraturan Perundang-undangan di IndonesiaKewenangan delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan adalah pelimpahan kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah baik secara tegas atau pun tidak.[5]Contoh pemberian kewenangan delegasi pembentukan perda adalah misalnya pada Pasal 12 UU 18/2008 yang menyatakan bahwaSetiap orang dalam pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga wajib mengurangi dan menangani sampah dengan cara yang berwawasan lingkungan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diatur dengan peraturan Pasal 12 ayat 2 UU 18/2008 memberi delegasi kepada pemerintahan daerah untuk menyusun perda tentang tata cara pelaksanaan kewajiban pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga di daerah kesimpulannya, peraturan daerah dibuat oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala daerah, atas dasar atribusi dan delegasi, artinya perda dapat dibentuk sewaktu-waktu, tanpa adanya perintah dari peraturan perundang-undangan di atasnya, untuk memenuhi kebutuhan daerah masing-masing berdasarkan kewenangan dalam UU 23/2014 dan perda juga dapat dibentuk untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Demikian jawaban dari kami, semoga HukumUndang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Ed. Revisi. Yogyakarta PT Kanisius, 2020.[2] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Ed. Revisi. Yogyakarta PT Kanisius, 2020, hal. 57[3] Pasal 1 angka 6 UU 23/2014[4] Pasal 1 angka 11 UU 23/2014[5] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Ed. Revisi. Yogyakarta PT Kanisius, 2020, hal. 58Tags
Peraturan Daerah Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Perda dalam implementasinya merupakan peraturan perundang-undangan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-perundang-undangan yang lebih tinggi dan menampung kondisi khusus dari daerah yang Selain itu, Perda juga dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas Namun demikian, catatan penting untuk Perda adalah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih Institusi yang berwenang membentuk Perda adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD dan Kepala Daerah. Perda dibedakan antara Perda Provinsi, yang dibuat dan disahkan bersama-sama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur serta Perda Kabupaten/Kota, yang mana dibuat dan sisahkan secara bersama-sama oleh DPRD Kabupaten/Kota dan Bupati/Walikota. Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa Perda dapat merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam rangka 110 Pasal 1 Angka 7 dan 8. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Lihat juga pada Pasal 136 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 111 Pasal 136 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 112 Pasal 136 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 113 Pasal 136 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 58 pelaksanaan otonomi daerah. Oleh karena sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, maka materi substansi Perda tidak boleh bertentangan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkat pusat. Sedangkan untuk Perda dalam rangka pelaksanaan otonomi, maka substansi Perda tersebut tidak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkat pusat, tetapi harus menyesuaikan pada kondisi otonomi kemampuan daerah masing-masing namun tetap tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Perda dalam posisi secara politis sebangun dengan Undang-Undang, karena itu tata cara pembentukannya pun identik seperti tata cara pembentukan Undang-Undang dengan penyesuaian-penyesuaian. Salah satu perbedaan yang terdapat dalam Perda adalah adanya prosedur atau mekanisme pengesahan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih tinggi untuk materi substansi Perda tertentu, misalnya materi mengenai retribusi. Perda merupakan produk hukum daerah yang dibuat oleh DPRD Provinsi/Kabupate/Kota dan Kepala Daerah tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota. Pemerintahan daerah adalah institusi yang merepresentasikan daerah otonom, yang memiliki hak untuk membentuk Perda dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah. Hak ini didasarkan pada Pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Dasar RI 1945 yang menjelaskan bahwa Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan 59 daerah dan peraturan lain untuk melaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Secara eksplisit Pasal 1 ayat 7 ini menegaskan bahwa DPRD adalah lembaga yang memiliki kekuasaan untuk membentuk Perda. Sebagai perbandingan, definisi Perda Kabupaten/Kota dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 diatur pada Pasal 1 angka 8 dengan definisi sama yaitu Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Menelaah Perda tidak dapat dilepaskan dari pembahasan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan dalam konteks ini didefinisikan sesuai dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 sebagai peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata undang-undang yang merujuk pada jenis atau bentuk peraturan yang dibuat oleh negara. Istilah “peraturan perundang-undangan” digunakan oleh A Hamid S Attamimi, Sri 114 Terkait dengan definisi peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagai revisi dari UU Nomor 10 Tahun 2004 pada posisi yang sama yaitu pada Pasal 1 angka 2. 60 Soemantri, dan Bagir Menurut A Hamid S Attamimi, istilah tersebut berasal dari istilah “wettelijke regels” atau “wettelijke regeling”. Attamimi memberikan batasan peraturan perundang-undangan adalah peraturan negara, di tingkat pusat dan di tingkat daerah, yang dibentuk berdasarkan kewenangan perundang-undangan, baik bersifat atribusi maupun bersifat delegasi. Dalam kesempatan lainnya, Attamimi membatasinya dengan semua aturan hukum yang dibentuk oleh semua tingkat lembaga negara dalam bentuk tertentu, dengan prosedur tertentu, yang biasanya disertai dengan sanksi dan berlaku umum serta mengikta Sementara Bagir Manan mendefinisikan peraturan perundang-undangan dengan setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat negara yang mempunyai menjalankan fungsi legislatif sesuai dengan tatacara yang Istilah peraturan perundang-undangan berasal dari kata undang-undang yang merujuk pada jenis atau bentuk peraturan yang dibuat oleh negara. Menutur ilmu pengetahuan hukum, setidaknya terdapat 3 tiga landasan undangan yang harus dipenuhi dalam menyusun peraturan perundang-undangan yakni filosofis, sosiologis dan 1. Landasan Filosofis 115 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Bandung Mondar Maju, 1998, hal. 18. 116 Ibid. 117 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang..., hal. 18-19. Lihat juga pada Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung Penerbit Armico, 1987, hal. 13. 118 Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia Prerspektif Konstitusional, Jogjakarta Total Media, 2009, hal. 229-230 61 Landasan filosofis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan dasar filosofis/ideologi negara, dalam arti bahwa peraturan perundang-undangan harus memperhatikan secara sungguh-sungguh nilai-nilai cita hukum yang terkandung dalam Pancasila. Setiap masyarakat mengharapkan agar hukum itu dapat menciptakan keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan. 2. Landasan Sosiologis Landasan sosiologis peraturan perundang-undangan adalah dasar yang berkaitan dengan kondisi/kenyataan yang hidup dalam masyarakat berupa kebutuhan atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan dan harapan masyarakat. Oleh karena itu peraturan perundang-undangan yang telah dibuat diharapkan dapat diterima oleh masyarakat dan mempunyai daya laku secara efektif. Peraturan perundang-undangan yang diterima oleh masyarakat secara wajar akan mempunyai daya laku yang efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengarahan institusional untuk melaksanakannya. Soerjono Soekanto-Purnadi Purbacaraka mencatat dua landasan teoritis sebagai dasar sosiologis berlakunya suatu kaidah hukum, yaitu a. Teori kekuasaan Machttheorie secara sosiologis kaidah hukum berlaku karena paksaan penguasa, terlepas diterima atau tidak diterima oleh masyarakat; b. Teori pengakuan, Annerkenungstheorie. Kaidah hukum berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat tempat hukum itu berlaku 3. Landasan Yuridis 62 Landasan yuridis tersebut sangat penting artinya dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, yaitu yang berkaitan dengan a. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, yang berarti bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. b. Keharusan adanya kesesuaian antara jenis dan materi muatan peraturan perundang-undangan. Ketidaksesuaian jenis tersebut dapat menjadi alasan untuk membatalkan peraturan perundang-undangan yang dibuat. c. Keharusan mengikuti tata cara atau prosedur tertentu. Apabila prosedur/ tata cara tersebut tidak ditaati, maka peraturan perundang-undangan tersebut batal demi hukum atau tidak/belum mempunyai kekuatan mengikat. d. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.